Merari Siregar
dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896.
Merari Siregar meninggal di Kalianget, Madura pada tanggal 23 April
1941). Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS
yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13
Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli
1932.
Semasa kecil, Merari
Siregar berada di Sipirok. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwa
Merari Siregar sangat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Ia
menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, misalnya,
kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Setelah
dewasa dan menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan suku
bangsanya yang mempunyai pola berpikir yang tidak sesuai dengan tuntutan
zaman. Hati kecilnya ingin mengubah sikap orang-orang yang berpandangan
kurang baik khususnya orang-orang di daerah Sipirok.
Ia
pernah bersekolah di Kweekschool ‘sekolah guru’ dan sekolah guru
Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ di Gunung Sahari, Jakarta. Pada tahun
1923 Merari Siregar bersekolah di sekolah swasta yang didirikan oleh vereeniging
tot van Oost en West, yang pada masa itu merupakan organisasi yang
aktif memperakiekkan politik etis Belanda.
Setelah lulus dan
sekolah, Merari Siregar mula-mula bekerja sebagai guru bantu di Medan
kemudian pindah bekerja di Jakarta, yakni di Rumah Sakit CBZ (sekarang
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir Ia pindah di Kalianget, Madura,
dan bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Roman
Azab dan Sengsara karya Marari Siregar dianggap sebagai pemula
dalam kehidupan prosa Indonesia Modern. Roman yang diterbitkan pada tahun
1920 ini merupakan roman ash yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Buku ini mencerminkan permulaan kesusastraan prosa Indonesia modern,
demikian dinyatakan oleh Teeuw. Gambaran itu semakin nyata terlihat pada
roman Siti Nurbaya yang merupakan karya puncak Angkatan Balai
Pustaka. Di samping itu, Azab dan Sengsara ini adalah peniup
terompet pertama yang menyuarakan peftentangan kaum muda masa itu dengan
adat istiadat lama.
Tampaknya, buku Azab dan Sengsara ini
ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan Merari Siregar sejak masa
kedil. Awal penulisan Azab dan
Sengsara bersamaan waktunya dengan penyaduran buku yang
kemudian terkenal dengan nama Si
Jamin dan Si Johan, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Roman Azab
dan Sengsara itu
rupanya sebuah cerita yang betul-betul terjadi tentang seorang gadis
Batak yang hernama Mariamin. Dalam roman ini Merari Siregar sering
menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak
ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun
buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik
kepada bangsanya. Di bawah ini dikutip tulisan pengarang yang menunjukkan
hal tersebut.
Saya mengarang
ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang
baik dan sempurna di tengahtengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang
berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.
Hal-hal dan kejadian
yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam
pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat
berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang.
Azab dan Sengsara muncul
ketika Belanda sedang bergairah melaksanakan politik etisnya. Kegairahan
itu antara lain ditandai dengan herdirinya Conunissie Voor Volkslectuur ‘Komisi untuk
Bacaan Rakyat tahun 1908 yang bertugas menyelenggarakan dan
menyebar hacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash
kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Karangan ash itu,
antara lain, cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan
pantun. Karya sastra yang muncul pada masa itu masih terpengaruh oleh
Dilihat walaupun
sudah modern isi dan bentuknya. Pemodernan ini dimungkinkan karena
pengarang bergaul dengan karya sastra barat, khususnya sastra Belanda,
yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Pemoderenan semakin
meningkat ketika Commissie Voor
de VoLfcslectuur diganti namanya dengan Balai Pustaka.
Penggantian itu
disertai penambahan tugas, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa
dan bentuk baru. Pemodernan in autara lain, mampu mendorong kesadaran
individu para pengarang. Kesadaran individu ini tercermin pada
kemandirian tokoh-tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita ingin menentukan
nasibnya sendiri tanpa ketergantungan pada lingkungan dan ikatan
masyarakat. Kemandirian tokoh ini tercermin dalam Azab dan Sengsara, seperti yang tampak pada
tokoh utama Mariamin. Kesadaran tokoh utama Mariamin terlihat ketika ia
memotong penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat
pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan Mariamin ini diharapkan Merari
Siregar agar menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat kawin
paksa. Di atas telah dikatakan bahwa ikatan adat tokoh Mariamin mulai
menipis. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap
teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh
suarninya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di
rumah.
Secara keseluruhan Azab dan Sengsara memiliki
ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain ciri-ciri yang
dikemukakan di atas, yakni menguatnya kesadaran individu dan menipisnya
kesadaran adat, roman ini juga sangat kuat diwarnai penggambaran alam dan
pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain, tercermin
dalam penggunaan pantun dan syair.
Merari Siregar selain sebagai peñgarang juga
penyadur. Sadurannya diberi judul Si
Jamin dan Si Jehan yang diambil dan gubahan Justus van
Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul perasaan itu, antara lain,
tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.
Merari
Siregar selain sebagai peñgarang juga penyadur. Sadurannya diberi judul Si Jamin dan Si Jehan yang
diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul
“Jan Smees” ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang
berjudul Lift het Volk
‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang
terbit tahun 1879. demikian dinyatakan oleh Teeuw walaupun sebelumnya ía
menyatakan bahwa cerita “Jan Smees” ini berasal dan cerita Oliver West gubahan
Char les Dickens. Pengamat lain, seperti Armijn Pane pun menyatakan bahwa
karya Si Jamin dan Si Johan berasal dari karya sastra Belanda
tersebut.
Buku Si
Jamin dan Si Johan cetakan pertama 1918, menurut Amal
Hamzah, dimuat bersama-sama dengan judul lain yang bernama Penghibur Hati karya
S. Paimin. Nama samaran Merari Siregar. Karangan kecil yang berjudul Penghibur Hati ini
menurut Teeuw, dikarang oleh J-Paimin dan Slakas, Tasikmalaya. Pada
halaman judul teks itu tertulis ‘Soewatoe karangan yang beroleh hadijah
dan diploma dalam perloembaan karangan dan hal madat”. Teks itu merupakan
risalah kecil tentang akihat buruk penghisapan madat.
Cerita Si
Jamin dan Si Johan serta Penghibur Hati itu mendapat hadiah dalam
sayembara mengarang tentang pemberantasan madat. Oleh karena judul cerita
itu mempunyai tujuan yang sama, kedua cerita itu disatukan menjadi sebuah
buku. Dalam saduran itu Merari Sáregar menciptakan lingkungan cerita yang
baik sehingga tanpa membaca cerita aslinya kita seolah-olah membaca
cerita baru yang terjadi di Indonesia (Jakarta). Daerah-daerah seperti Prinsenlaan di
Taman Sari dan Glodok serta suasana Betawi tahun 20-an dilukiskan
sehingga menimbulkan kerawanan di hati pembacanya.
Ide cerita Si
Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman
keras dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan
kemerosotan bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha
pemerintah Hindia Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum
Belanda berusaha memberantas pemabukan. pemerintah Belanda masih
mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu, misalnya di Glodok, yang
merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.
Dalam
menyadur Merari Siregar mengalami kesukaran untuk memindahkan suasana
Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran
kemiskinan dan kesultanan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan dan
kesolehan indonesia. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari
penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang
yang meminum minuman keras adalah orang yang beruang. Pria Eropa pergi ke
gereja bersama anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi
ke mesjid tanpa istri dan anak perempuannya.
Selain Azab
dan Sengsara serta Si
Jamin dan Si Johan yang terkenal, karya-karya lain yang kurang
dikenal, yaitu (1) Binasa
Karena Gadic Priangan, Balai Pustaka, 1931; (2) Cerita Tentang Busuk dan Wanginya
Kora Betawi, Balai Pustaka, 1924; dan (3) “Cinta
dan Hawa Nafsu” yang merupakan sebuah roman.
Profesi Merari Siregar sebagai guru mewarnal
gaya penceritaan dan gaya karya sastranya, baik karya asli maupun
sadurannya. Penggunaan bahasa yang lancar dan rapi dengan gaya khotbahnya
langsung menunjukkan perkataan atau maksudnya kepada pembaca; meminta
perhatian untuk ceritanya. Ia memberi nasihat, mengecam yang kurang baik
serta memuji-muji tindakan yang menurut aturan masyarakat baik.
Karya Merari Siregar :
a. Novel
(1) Azab
dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun
1920,Cet.4 1965.
(2) Binasa
Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.
(3) Cerita
tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balam
Pustaka 1924.
(4) Cinta
dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.
b. Saduran
Si Jamin dan si Johan. Jakarta:
Balai Pustaka 1918.
|