Sponsors

Thursday, November 22, 2012

Antara Kompetitif dan Krisis Finansial di Liga Spanyol

Reuters/Heino Kalis

Ketika Atletico Madrid melumat Chelsea 4-0 di partai Super Eropa musim panas silam, orang pun bertanya-tanya apakah benar La Liga adalah kompetisi yang tidak kompetitif, sebab dalam satu dekade terakhir hanya ada Real Madrid dan Barcelona yang bergantian juara serta sekali diselingi oleh Valencia.

Atletico bermain nyaris sempurna, seperti halnya ketika mereka menghajar sesama wakil La Liga, Athletic Bilbao, di final Liga Europa musim lalu. Di Piala Super Eropa, penjagaan zona Atletico begitu rapi dan membuat Chelsea yang jawara Liga Champions tampak seperti tim amatir.

Sebenarnya, apa yang ditunjukkan Atletico bukan barang baru. Sepanjang musim lalu, striker Falcao mencetak 23 gol di La Liga — meski jumlahnya masih kalah dari koleksi gol Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Falcao mengungguli bekas penyerang Atletico, Sergio Aguero, yang mencetak 23 gol bagi juara EPL musim lalu Manchester City.

Klub Spanyol memiliki rekam jejak bagus di pentas Eropa. Dalam satu dekade terakhir, perwakilan La Liga mengoleksi total sembilan gelar juara di pentas Liga Champions dan Liga Europa. Real Madrid (2002) dan Barcelona (2006, 2009, 2011) di Liga Champions. Sevilla (2006, 2007), Atletico (2010, 2012) dan Valencia (2004) berjaya di Liga Europa. Tidak heran, nilai koefisien Eropa mereka hanya dapat ditandingi oleh tim-tim Inggris.

AFP/Pierre-Philippe Marcou

Tim seperti Atletico, Sevilla dan Bilbao memang seperti "hewan liar" ketika tampil di Eropa. Mereka seperti ingin mengoptimalkan misi yang tak sulit dilakukan di La Liga. Ironis memang melihat peta persaingan di Eropa yang dihadapi tim Spanyol justru lebih merata dan proporsional ketimbang di La Liga.

Prestasi di luar negeri tidak dibarengi dengan prestasi manajemen di dalam negeri.

La Liga seperti lapangan yang tidak rata. Perbedaan pendapatan hak siar bak bumi dan langit. Real Madrid saat menjuarai musim lalu mendapat pemasukan hak siar 150 juta euro. Sedangkan Racing Santander yang harus degradasi hanya menerima 15 juta euro. Artinya, di Spanyol, klub kaya makin bertambah kaya dan klub miskin makin terpuruk. Lebih parah lagi, klub kehilangan posisi tawar. Di awal musim lalu, klub elit seperti Villarreal, Atletico, dan Valencia tidak mendapatkan sponsor utama.

Karena kurang pemasukan uang, klub justru meningkatkan harga tiket pertandingan mereka. Padahal kemampuan daya beli masyarakat Spanyol sedang menurun akibat krisis finansial. Harga tiket masuk stadion di Spanyol adalah yang tertinggi bersama Inggris di Eropa. Itulah yang menyebabkan stadion-stadion di Spanyol tak lagi penuh dalam tiga tahun terakhir.

Bahkan Camp Nou, kandang Barcelona, selalu memiliki 20 ribu kursi penonton yang lowong di setiap pertandingan. Dengan situasi tersebut, banyak orang Spanyol bertanya mengapa Valencia sedang membangun stadion dengan kapasitas 75 ribu penonton?

AFP Photos

Situasi La Liga yang tidak kondusif juga memengaruhi para pemain asli Spanyol. Mereka memilih eksodus yang di musim ini makin menjadi. Bundesliga Jerman menjadi tujuan terfavorit para pemain Spanyol dalam tiga tahun terakhir sejak Raul Gonzales secara mengejutkan memilih Schalke 04 saat pindah dari Real Madrid. Kehadiran Javi Martinez di Bayern Muenchen dengan harga fantastis 40 juta euro musim panas lalu menjadi puncaknya.

Tetapi klub juga mulai kehabisan posisi tawar, entah terhadap pemain maupun klub lain. Sebagai contoh, Rayo Vallecano menjual striker Miguel "Michu" Perez Cuesta ke Swansea dengan harga hanya 2 juta euro. Padahal Michu, yang kelahiran Oviedo, menyumbang 15 gol untuk Vallecano dalam 37 penampilan di La Liga musim lalu. Dengan statistik itu, Michu harusnya memiliki harga jual tak berbeda jauh dengan Andy Carroll yang dibeli Liverpool seharga 35 juta pounds meski hanya mencetak 11 gol dalam 19 penampilan dengan Newcastle United sepanjang musim 2010-2011 dan mandul selama berada di Anfield.

Berada dalam situasi krisis finansial memang membatasi ruang gerak kreativitas berpikir Vallecano saat bernegosiasi dengan Swansea. Dan Michael Laudrup, pelatih baru Swansea, paham benar situasi di Spanyol karena legenda Denmark ini lama berkarier di kawasan Iberia.

"Situasi ekonomi sepak bola Spanyol sungguh buruk. Ini masa sulit bagi mereka," tukas Laudrup setelah resmi merekrut Michu yang pada debutnya di Liga Inggris langsung mencetak dua gol.

Tentu saja masih ada klub yang memiliki nyali untuk bernegosiasi lebih berani dalam transfer pemain seperti Athletic Bilbao. Finalis Liga Europa dan Piala Raja Spanyol musim lalu tersebut berani meminta Bayern Muenchen harga 40 juta euro untuk gelandang Javier Martinez. Padahal uang sebanyak itu hanya memungkinkan Bilbao menggelar pesta dansa Flamenco semalam suntuk di Stadion San Mames.

Sejumlah pengamat sudah lama mengatakan bahwa asal kekacauan ini adalah buruknya manajemen La Liga (LFP) dan klub. Permasalahan yang tak kunjung dibenahi mulai memakan korban. Klub Real Oviedo mendapat tenggat hingga 17 November 2012 untuk menyediakan dana sebesar 1,9 juta euro sebagai jaminan mengikuti liga apabila tak ingin dinyatakan bangkrut dan dikeluarkan dari Divisi Empat Liga Spanyol.

Sampai tulisan ini dibuat, kampanye menyelamatkan Oviedo masih berlangsung dengan cara menjual saham kepada publik internasional. Tiga bintang Liga Inggris; Juan Mata (Chelsea), Michu, dan Santi Cazorla (Arsenal), yang memulai karier di Oviedo, juga sudah melakukan patungan untuk membantu Oviedo.

Pengelola Liga Spanyol (LFP) dan manajemen klub justru seperti tengah mengebiri daya kompetitif klub masing-masing. Tanpa pembenahan segera dan menyeluruh, bukan tak mungkin akan muncul “Oviedo” yang lain.

*Penulis adalah pecinta sepak bola. Biasa ditemui di dunia maya dengan akun Twitter @HariSyahputraa

0 comments:

Post a Comment